Monday, April 13, 2015

Perjalanan menuju dan dengan Beasiswa

Hai, nama saya Fiesty Utami. Saya adalah salah satu mahasiswi penerima BPPLN-Dikti 2014, yang sedang mengambil program Master Degree-Finance di National Yunlin University of Science and Technology di Taiwan.
Saya bukan orang yang jenius. Saya perlu membaca berkali-kali, setelah saya paham barulah saya bisa mengerjakannya. Memahami kelemahan saya adalah kunci bagi diri saya sendiri untuk menyemangati diri untuk belajar dan belajar.
Ketika semester 8 (awal tahun 2012), saya mencoba melamar pekerjaan. Ternyata saya beruntung; setelah mengikuti tahapan test interview dan psychotest, dan meyakinkan user bahwa saya pasti lulus di tahun 2012 (padahal saya masih mengerjakan skripsi BAB II); saya diterima di salah satu perusahaan BUMN di Jakarta. Dengan ambisi diterima di perusahaan bonafit, saya mengikuti seluruh tahapan seleksi yang cukup membuat saya stres karena harus bolak-balik Jakarta-Bandung, mengerjakan tugas tambahan oleh user perusahaan tersebut (sebagai tahapan seleksi tambahan), sekaligus mengejar dosen bimbingan skripsi di Bandung.
Gaji di perusahaan tersebut ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup saya selama tinggal di lokasi dekat perusahaan di Kuningan, Jakarta. Saya-pun masih meminta dikirimkan bantuan financial dari orang tua. Walaupun begitu, ketika saya meminta untuk berhenti bekerja dan memilih untuk melanjutkan kuliah- ibu saya berkata bahwa mereka sudah tidak mampu memberikan saya uang bulanan dan membiayai saya kuliah.
Mendengar hal itu, saya kaget dan kecewa. Saya mengatakan bahwa saya iri dengan kakak saya yang mengambil S1 di salah satu Universitas Internasional swasta di Jakarta dan melanjutkan program profesinya di sana. Biaya kuliah S1 di Universitas tersebut menginjak dua digit per-semesternya dan belum lagi di tambah biaya untuk mengambil profesi. Di mata saya, kenapa kaka saya yang sudah kuliah mahal-mahal, ujung-ujungya toh menikah, dan kini sudah sibuk dengan keluarganya sendiri. Sedangkan saya, yang berkomitmen untuk bekerja sebelum menikah untuk membiayai orang tua nantinya, justru tidak bisa melanjutkan S2, bahkan saya meminta profesi-pun, ibu saya tidak mau membiayai saya.
Mendengar itu, Ibu saya berkata: “Jangan pernah membandingkan jatah seseorang dengan yang lainnya. Dulu memang kebetulan mama mendapatkan rezeki tambahan ketika teteh meminta lanjut profesi, mungkin itu memang rejekinya teteh, kalau dilhat dari gajinya papa,  mama juga sampai sekarang masih ga ngerti, kenapa kita bisa mengkuliahkan kalian sampai beres.  Alhamdulillah.. selalu ada rejeki tiap kita butuh, tapi kalau kamu meminta untuk kuliah sekarang, maafin mama, papa sama mama sudah tidak mampu membiayai esti kuliah. Cukup sampai S1, kalau kamu mau ngambil S2, silahkan bekerja.. menabung..”
Saya diam mendengarkan ibu saya bercerita. Sesekali terdengar suara cegukan saya, menahan tangis.
“Mama yakin esti mah pasti bisa. Esti anak pinter, mama lihat dari dulu kalau esti pengen ngedapetin sesuatu, esti kerja keras, esti berdoa  dan hasilnya selalu memuaskan. Allah Maha Mengabulkan, sekarang esti usaha sendiri, jangan lupa banyak berdoa memohon sama Allah supaya Allah luluh dan mengabulkan keinginan esti lagi. Dulu bisa dapet beasiswa dari pemerintah 4 tahun berturut-turut waktu kuliah, bisa pake uang beasiswa buat beli barang-barang tambahan yang esti pengen, dan Alhamdulillah lulus cum-laude, ga ada yang ga mungkin, siapa yang tahu nanti dapet beasiswa buat kuliah S2, atau bisa kerja sambil kuliah pake uang sendiri.”
Baru saya sadar, dilihat dari umur ayah saya, seharusnya ayah saya memang sudah pensiun. Namun, karena saya belum lulus kuliah, dan ternyata setelah lulus kuliah pun saya masih belum bisa lepas secara financial dari mereka, maka ayah saja terus-terusan menunda pensiun, sering kali ayah saya mengeluh cape berkerja karena beliau memiliki masalah penglihatan. Namun, beliau tetap bekerja demi saya, menunggu sampai saya bisa mandiri.
 Selama ini mereka berdua begitu memprioritaskan anak-anaknya, sampai-sampai mereka menunda cita-cita mereka sendiri untuk menjalankan ibadah naik haji. Sekarang, giliran mereka untuk menabung dan memikirkan masa depan mereka. Ayah saya berniat untuk melaksanakan ibadah haji dengan menggunakan uang pensiunnya.
Dan saya sadar, ternyata di umur saya yang ke-23 tahun, saya belum bisa menjadi tempat bersandar bagi kedua orang tua saya.
*
Dari Jakarta, saya pindah bekerja di perusahaan Korea yang terletak di Bekasi. Akhirnya untuk pertama kalinya, saya menstransfer uang ke rekening ibu saya. Walaupun jumlah yang saya transfer tidak banyak, namun bagi saya itu adalah permulaan. Bagi ibu saya, hal itu merupakan suatu kebanggan, karena artinya saya sudah mampu mengontrol penghasilan dan hidup mandiri. Ibu saya tidak pernah memakai uang tersebut, dan mengumpulkannya. Katanya, ini adalah uang tabungan saya, yang dititipkan ke Ibu saya; suatu saat saya akan membutuhkan uang ini katanya.
Dari Bekasi, saya pindah bekerja ke perusahaan lain di Cilegon. Merupakan suatu kebanggaan bagi saya bekerja di perusahaan joint venture Korea-Indonesia ini. Bekerja di Perusahaan ini membuat saya merasa seperti bekerja di sebuah pulau asing di luar negeri, karena lokasi perusahaan yang jauh dari mall-mall besar dan setiap hari para pekerja berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Limpahan ilmu dan tips saya dapatkan dari expat-Korea dan Indonesia yang hanya dalam beberapa hitungan tahun ke depan, mereka harus kembali ke negara dan perusahaannya masing-masing. Pressure dari user dan atasan, rasanya terobati dengan ilmu-ilmu pemecahan kasus dan pengalaman baru yang tidak saya pelajari ketika kuliah. Belum lagi senior-senior yang selalu ramah dan memberikan solusi, serta teman-teman rekan kerja yang selalu saling memberikan support, hal-hal tersebut akan membuat saya berat meninggalkan perusahaan ini.
Tentu saja, bekerja tidaklah selalu menyenangkan. Malam itu, ketika saya merasa dropped, saya menghibur diri sendiri dengan melihat-lihat halaman facebook. Saya melihat salah satu teman SMA saya mengupload foto-fotonya di Perancis, dan foto-foto rumahnya yang sedang dibangun.  Ternyata ia kuliah double degree S2 di Perancis, dan dengan uang beasiswanya ia mampu membangun rumah sendiri. How clever and lucky you are. Itulah yang saya lihat darinya. Ketika menggeser touchpad laptop, “Kok basah?”  Ternyata sedari tadi saya terus meneteskan air mata. “Ya Allah, terimakasih banyak atas semua anugerah-Mu. Hamba yakin, Allah tahu yang terbaik untuk hamba dan memberikan yang terbaik untuk hamba. Tapi, kalau boleh, jadikanlah agar yang terbaik itu adalah hamba kuliah S2 di luar negeri dengan beasiswa. Amiin.”
Tepat keesokan harinya ketika jam istirahat tiba, saya menghampiri teman saya di meja kerjanya; saya memergoki dia sedang mengisi formulir. Teman saya kemudian menawarkan saya untuk ikut mengisi formulir tersebut; formulir Beasiswa Calon-Dosen BPP-LN (Beasiwa Pasca Sarjana Luar Negeri) DIKTI DIV Vokasi, yang ternyata deadline-nya adalah hari itu juga.
“Ayo ti, isi juga, deadline-nya hari ini loh. Upload dokumennya hari ini juga. Kapan lagi ada kesempatan keluar dari perusahaan, jadi dosen.”
Aku ternganga. Ya Allah, baru saja tadi malam ak berdoa, ternyata Maha Baik Allah, doaku langsung dikabulkan, kesempatan itu tiba-tiba datang. Keraguan sempat datang berkali-kali, Bagaimana jika aku diterima? Perusahaan ini adalah perusahaan impian saya. Saya juga begitu mencintai pekerjaan saya. Tenang esti. Coba dulu aja. Hasilnya serahkan ke Allah. Allah Maha Tahu yang terbaik.
Malam harinya, saya mengisi formulir dan meng-upload beberapa dokumen yang dipersyaratkan. Setelah sebulan menunggu, akhirnya November 2013 pengumuman-pun muncul. Pengumuman hasil seleksi administrasi itu datang begitu mendadak. Sehingga pada Senin pagi, saya tidak masuk kerja dengan alasan sakit. Dengan ragu, saya pun akhirnya pergi naik bis ke Jakarta. Alhasil, selama di perjalanan saya tetap bekerja dengan cara berkomunikasi dengan supplier-supplier via telpon.
Setelah naik ojek dari terminal rambutan, sampailah saya di Universitas Gunadarma, tepat jam 13.00. Untunglah ternyata saya masih sempat registrasi. Dengan masih terengah-engah karena lelah berlari, saya membaca dan mengerjakan semua soal Tes Kemampuan Akademik dan Tes English. Setelah mengisi soal-soal tersebut, jumlah score ternyata langsung terpampang di monitor tersebut. Setelah keluar ruangan tes, saya mengajak berkenalan orang-orang di sekitar saya. Kami-pun membandingkan score kami masing-masing, dan ternyata score saya tidak besar. Kecemasan pun mulai datang.
Pada bulan Desember 2013, hari Kamis, saya menerima e-mail dari Dikti yang isinya bahwa saya diterima sebagai calon dosen Vokasi, dengan syarat mengikuti pelatihan Bahasa Inggris di Universitas Indonesia selama 6 bulan. Saya ternganga, karena jika saya memillih mengejar cita-cita saya untuk kuliah di luar negeri- saya harus resign dan mengikuti pelatihan Bahasa Inggris (mengikuti pelatihan Bahasa Inggris belum tentu lulus, karena masih ada proses tes seleksi lagi setelahnya). Keputusan ini harus dibuat dalam kurun waktu 3 hari, karena jika saya memtuskan untuk melanjutkan proses seleksi, hari Senin saya sudah harus datang ke Universitas Indonesia dan menandatangani surat perjanjian.
Setelah sharing dengan orang tua, rekan kerja, dan senior, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan seleksi beasiswa. Itu artinya, pada hari Jumat saya harus mengajukan resign dari perusahaan.
Kesempatan ini tidak akan datang dua kali.
Di hari Jumat pagi, team leader memanggil saya ke ruangan. Saya tersenyum ketika ia memanggi saya ke ruangannya. Oke, inilah saat yang tepat untuk mengajukan resign. Di ruangan itu, ia menghela nafas kemudian ia meminta maaf karena sering menjibuni saya dengan banyak deadline kerja, sehingga pada weekend saya sering masuk kerja. Namun, dia berharap saya maklum, karena perusahaan memang dalam masa commissioning. Kemudian di mengatakan bahwa di di KPA bulan Desember ini, dia akan memberikan saya nilai A. Dia akan mengajukannya ke atasannya.
Hati saya begitu sedih ketika mendengar beliau terus berbicara. Ya ampun, jahatnya saya. Kenapa harus hari ini. Dia begitu baik. Air mata pun tak sengaja terus menetes. Ia kaget melihat saya menangis. “What happen?”
“Thank you very much. You are so kind to me. I am sorry Mr. Actually yesterday I got an e-mail from Indonesia government. I want to school abroad and being a lecturer.”
“What do you mean?”
“I want to resign from this company. I want to school abroad”
“Where? When?”
“Germany. I have to resign today, because on Monday I will sign the contract with Government and join English training.”
Mukanya memerah, ia tidak menyetujui resign-ku karena alasan resign yang terlalu mendadak. Dengan wajah memerah karena marah, ia pun membawa saya ke atasannya, Pak Eddy. Di ruangan Pak Eddy, saya memperlihatkan surat undangan dari Dikti. Setelah membacanya, Pak Eddy tersenyum seraya berkata: “Ini bagus. Saya dukung kamu. Kamu wanita, menjadi dosen adalah pekerjaan mulia. Kesempatan kuliah di luar negeri dan apalagi menjadi dosen ini jangan kamu sia-siakan. Selamat ya.”
Saya tersenyum bahagia dan bersyukur. Semua proses dilancarkan. Pak Eddy menyuruh saya tenang dan kembali ke meja kerja saya. “Kasih saya lima copy surat resign, biar saya yang kasih surat resign ke Direktur Departemen ini dan Direktur HR. Kamu ga usah ngehadap mereka. Kamu duduk di sini aja, bikin progress report dan detail pekerjaan kamu yang pending. Nanti saya dan Mr.Park yang akan membagi-bagi pending item kamu.”
Subhanalloh. Terima kasih Ya Allah. Ketika hamba mengalami kesulitan, Engkau memberikan jalan lewat bantuan dari orang ini.
*
Hari Senin, saya naik bis dari Cilegon ke Jakarta. Di sana kami disambut oleh orang Dikti. Sempat ada kesalahpahaman antara kami dengan pihak yang diutus oleh Dikti. Kebetulan beliau belum mengetahui program baru ini dengan jelas (Program BPPLN Calon-Dosen Vokasi DIV merupakan yang pertama kalinya).
Kami, yang telah resign dari pekerjaan, mencoba untuk tenang ketika mendengar opini beliau. Kami pun mengirim e-mail ke Dikti dan meminta konfirmasi. Alhamdulillah, e-mail balasan dari Dikti menenangkan kami. Ternyata kami yang bukan dosen, bisa melanjutkan tes seleksi ini.
Kabar mengejutkan dari Dikti datang kembali di bulan Maret 2014. Dikti mengabarkan bahwa negara tujuan kuliah dipersempit menjadi hanya 3 negara; Austria, Jerman, dan Taiwan. Dan sesuai dengan background kami DIV, kami harus memilih FH (Fachhochschulreife).
Setelah 2 bulan pelatihan Bahasa Inggris, saya merasa bosan, saya merasa Bahasa Inggris saya tidak mengingkat. Saya rindu kegiatan sibuk. Saya rindu perusahaan saya, yang di sana saya merasa Bahasa Inggris saya lebih meningkat. Saya-pun akhirnya tidak belajar dengan maksimal. Kesalahan saya adalah, saya cepat merasa puas. Saya lebih banyak menghabiskan waktu saya untuk ke hang-out ke mall, bioskop, makan di luar, dll.
Ketika pengumuman hasil IELTS dibuka, dada saya sesak ketika melihat hasil IELTS: 6.0. Sedih memang, penyesalan datangnya terakhir.
Dengan berbekal score IELTS 6.0, saya meng-apply ke beberapa Universitas di Jerman dan Taiwan. Namun, ternyata penyebab saya ditolak oleh Universitas di Jerman adalah karena masalah akreditasi. Jerman memiliki sistem akreditasi sendiri, dan Polteknik Negeri Bandung memiliki akreditasi H-.
http://anabin.kmk.org/no_cache/filter/institutionen.html
Tidak ada waktu untuk bersedih, saya harus segera merubah haluan saya ke negara lain, Taiwan. Taiwan sedang gencar-gencarnya meningkatkan jumlah mahasiswa Internasional. Tidak heran, ESIT dan beberapa Professor dari beberapa Universitas di Taiwan datang ke kelas kami untuk mempromosikan Universitasnya.
Semua informasi Universitas dan beasiswa di Taiwan tersedia lengkap di http://www.esit.org.tw/. ESIT (Elite Study in Taiwan) adalah suatu project Ministry of Education Taiwan. Pihak ESIT sangat komunikatif, mereka selalu membalas semua e-mail pertanyaan dari kami dengan cepat dan jelas.
Setelah memilih Universitas yang diinginkan dan mendapatkan Professor pembimbing, kami daftar online lagi ke website Dikti, lalu mengikuti proses seleksi wawancara. Pihak DIKTI sangat baik dan ramah, dengan tangan terbuka mereka membantu kami yang kebingungan dengan memberikan petunjuk dan saran agar kami mendapatkan surat Setneg tepat waktu sebelum study di Taiwan dimulai.
*
16 September, 2014, kami -saya, 9 teman yang satu program dengan saya, dan 2 dosen yang akan kuliah di kampus yang sama- tiba di National Yunlin University of Science and Technology, Taiwan. Mata kuliah diajarkan dengan dwi bahasa: setelah dosen menjelaskan dengan menggunakan English, dia akan menjelaskan lagi dengan Chinese. Di kelas Finance ini, tidak banyak mahasiswa yang lancar berbahasa Inggris.
Taiwanese ternyata sangat ramah. Jika boleh membandingkan dengan orang China daratan (Chinese), Taiwanese lebih ramah dan terbuka. Mereka juga sangat menghargai agama kami. Mayoritas Professor dan teman-teman saya di Taiwan tidak memiliki agama. Di kota Yunlin -kota tempat saya melanjutkan study-, tidak ada yang memakai kerudung. Sehingga, ketika semester pertama kami di sini, setiap hari kami disapa, diajak mengobrol, dan menjadi objek foto mereka. Tidak hanya teman-teman di kampus dan masyarakat saja yang heran, ternyata beberapa dosen saya juga bertanya mengapa kami memakai kerudung. Apakah itu baju adat Indonesia?
Kenapa kalian memakai penutup kepala? Apa kalian botak, atau rambut kalian rusak?
Udaranya panas di sini, apa kalian tidak akan membuka penutup kepalanya sekarang?

Gambar 1. Berita di dua koran lokal Taiwan tentang kedatangan kami

Kuliah di Taiwan memiliki keuntungan-keuntungan tersendiri yang mungkin tidak akan saya dapatkan jika saya kuliah di negara lain:
1.      Mendapatkan fasilitas prayer room di Jurusan,
2.      Belajar bahasa Internasional ke-dua: Chinese,
3.      Memiliki kesempatan lebih besar untuk aktif di kegiatan PPI Taiwan,
4.      Dapat mengikuti kegiatan sosial untuk membantu TKI
Di Taiwan, kami tidak saja mengikuti kegiatan sosial untuk masyarakat lokal, kami juga menyelenggarakan acara pelatihan, seminar dan workshops untuk meningkatkan skills mereka (English, komputer, dan cara membuat bisnis di Indonesia)

Di semester saya yang ke-dua ini, saya bersyukur karena hingga saat ini beasiswa saya lancar. Tinggal di kota ini memiliki keuntungan sendiri karena biaya hidup di sini tidak semahal biaya hidup di ibu kota. Sehingga saya bisa menyisihkan uang saya untuk Ibu saya umrah. Untuk semester pertama di sini, Alhamdulillah saya peringkat 6 di angkatan 103 Finance ini. Walaupun bukan 3 besar, tapi saya senang karena saya mampu bersaing dengan Taiwanese. Semoga saya tidak cepat merasa puas lagi, dan kedepannya saya bisa mendapatkan peringkat yang lebih bagus lagi. Amiin.
Untuk teman-teman yang ingin melanjutkan kuliah di luar negeri, akan lebih baik jika mengantongi Letter of Acceptance (LOA) terlebih dahulu dari Universitas yang diinginkan. Biasanya jika sudah mengantongi surat ini, pihak pemberi beasiswa seperti LPDP dan Dikti tidak akan ragu untuk memberikan beasiswanya.


Sering-seringlah memantau web pemberi beasiswa, dan tetap keep contact dengan bagian administrasi di Universitas sebelumnya. Siapa tahu, meereka menyelenggaran program beasiswa yang baru seperti yang saya dapatkan ini.