Saturday, November 20, 2010

MAKASSAR MEMBARA

mengomentari/ menganalisis artikel :D,,


BAB I
ARTIKEL

Makassar Membara

Oleh Prof.  Tjipta Lesmana
Bagi seorang jenderal polisi, Makasar adalah medan tugas yang keras dan "tidak enak". Siapa yang ditugaskan di sana, hatinya sedikit banyak pasti ketar-ketir. Jarang ada Kapolda yang bisa menjabat lama di sana. Inspektur Jenderal Polisi Sisno Adiwinoto, misalnya, begitu duduk di kursi Kapolda Sulawesi Selatan-Barat (Sulselbar), langsung harus berhadapan dengan aksi demo-demo, khususnya yang dilancarkan mahasiswa dan wartawan. Ia hanya bertahan setahun di kursi panas itu, kemudian dicopot oleh Kapolri dan dipindahkan ke Palembang.
Bambang Hendarso Danuri lalu menerjunkan salah satu kader kesayangannya, Irjen Pol Matius Salempang. Temyata, Salempang hanya menjabat sekitar enam bulan sebelum dimutasikan ke Kalimantan Tengah, antara lain karena faktor agama yang dianutnya. Datang pula Irjen Pol Adang Rochjana. Kini, kursi Adang pun sedang goyang akibat insiden kekerasan maut hari Kamis, 4 Maret 2010, ketika puluhan anak-buahnya menyerbu dan mengoyak-oyak kantor Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Memang harus diakui bahwa di era reformasi ini, khususnya dalam dua tahun terakhir, aksi unjuk rasa kekerasan seolah menjadi kehidupan keseharian di Makassar. Tiada hari tanpa demo! Anehnya, demo di Makassar cenderung keras dan anarkis. Jika tontonan aksi-aksi unjuk rasa bernuansa violent yang selalu ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi secara live itu disambung-sambung, lalu kita nonton secara keseluruhan, maka kesan thefailedstate untuk Republik Indonesia amat kuat.
Failed state Negara gagal... Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Max Weber, sosiolog kelas internasional asal Jerman. Artinya, negara yang tidak lagi mampu memberikan perlindungan dan kedamaian kepada rakyatnya. Menurut teori, fungsi utama Negara adalah memberikan perlindungan terhadap nyawa dan harta benda rakyatnya. Nah, Negara yang tidak sanggup menjalankan fungsi utamanya itu dinamakan "negara gagal"; negara yang aparat penegak hukumnya nyaris kehilangan wibawanya secara total, sehingga situasi sosial-keamanan-ketertiban menjurus total chaos. Tentu, Presiden Yudhoyono atau setiap petinggi pemerintah kita akan menolak tegas stempel "negara gagal" untuk Indonesia. Namun, sekali lagi, aksi-aksi unjuk rasa belakangan ini di kota Makassar memberikan kesan kuat bahwa polisi sudah gagal total menegakkan keamanan dan ketertiban umum. "Perang" antara pendemo dan aparat kepolisian, "perang" antara sesama mahasiswa seperti antara para mahasiswa dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, baru-baru ini, dan "perang" antara mahasiswa dan masyarakat, memberikan pemandangan yang membuat kita geleng-geleng kepala. Mereka saling menyerbu head-to-head, melempari benda-benda keras apa saja ke arah lawan, bahkan melempari polisi yang bertugas dengan bom-bom molotov sehingga melukai polisi. Aksi kekerasan saling menyerang, kadang, berlangsung lebih dari satu jam, tanpa ada pihak yang mampu melerainya. Bukankah ini persis seperti pemandangan serupa di sejumlah negara Afrika...! Apa itu bukan cerminanj/W state?.
Akan tetapi, aksi kekerasan yang terjadi pada Kamis, 4 Maret, membuat semua pihak tersentak. Bahkan Prof Dr Achmad Ali, cendikiawan kenamaan dari Sulawesi Selatan, mengaku "meneteskan air mata". Siang itu, Sekretariat diserbu dan diobrak-abrik polisi sebagai tindakan balasan atas penyerbuan mahasiswa terhadap kantor Polsek Kota Makasar. "Krisis Makassar" sontak menyulut aksi serupa oleh HMI di berbagai kota, antara lain Ambon, Riau dan Jakarta (Cikini), sebagai wujud solidaritas. Insiden 4 Maret itu sendiri merupakan buntut dari aksi-aksi kekerasan sebelumnya terkait dengan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) tentang skandal Bank Century. Banyak pihak was-was bahwa kejadian 4 Maret di Makassar dapat dijadikan "entry point" bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif dalam upaya menjatuhkan pemerintahan SBY-Boediono. Jangan lupa, HMI adalah organisasi ke-mahasiswaan yang mempunyai nama besar. Para alumninya kini menduduki banyak jabatan strategis di pemerintahan maupun universitas. Dalam sejarah penumbangan regime, HMI selalu berdiri di depan. Pada gerakan mahasiswa pasca G30S/PKI 1965-1966, misalnya, HMI menjadi ujung-tombak. Begitu juga dalam aksi-aksi menjatuhkan pemerintahan Soeharto di penghujung 1997 hingga Mei 1998, kontribusi HMI amat besar. Kini HMI pun bangkit menjadi kekuatan penekan terhadap pemerintah SBY untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Setiap jenderal polisi yang ditugaskan sebagai Kapolda Sulselbar mestinya mengerti budaya Bugis-Makassar. Di sana, antara lain, dikenal nilai "Sin" (kehormatan tertinggi) Untuk menegakkan sebuah "Siri", orang Bugis-Makassar siap mempertaruhkan nyawanya. Penyerbuan polisi ke kantor HMI, tampaknya, sudah masuk dalam wilayah "Siri", karena wisma itu dianggap simbol kehormatan generasi muda intelektual dan pusat perlawanan terhadap arogansi kekuasaan regime. Namun, hukum adalah hukum yang harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika aparat hukum gagal menegakkan hukum, itulah salah satu ciri negara gagal. Mahasiswa yang terlibat dalam tindakan menyerbu dan merusak kantor Polsek harus dihukum, sebab itu sudah tindakan anarkis yang merendahkan martabat aparat negara. Kebijakan Kapolri yang selalu mencopot Kapolda atau Kapolres setiapkali terjadi insiden kekerasan harus dikecam. Dengan wibawa yang dimilikinya, Kapolri justru harus melindungi setiap anak-buahnya yang menghadapi krisis, kecuali jika anak-buah terbukti melakukan tindakan brutal dan melanggar hukum. Jika Kapolda Sulselbar satu per satu dipecat, nama baik Polri sebagai institusi akan jatuh.
Terkait dengan insiden 4 Maret, pihak-pihak terkait - polisi, mahasiswa, pimpinan ormas, pimpinan universitas dan birokrasi - harus duduk dan berdialog dengan kepala dingin, Irjen Pol Sisno Adiwinoto, ketika menjabat Kapolda Sulselbar, sebetulnya, sudah berhasil membina dialog dengan elemen-elemen mahasiswa, termasuk mahasiswa. Sayang, Kapolri Bambang Hendarso terlalu cepat memecat dan memutasikannya ke daerah lain. Setelah insiden 4 Maret, banyak pihak, termasuk Gubernur Sulawesi Selatan, kabarnya merindukan kepemimpinan Pak Sisno!


















BAB II
RINGKASAN

Dalam artikel tersebut, dipaparkan bahwa demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa di Makassar selalu identik dengan kerusuhan. Jarang ada Kapolda yang bisa menjabat lama ketika ditugaskan di Makassar. Termasuk Irjen Pol Adang Rochjana yang kini digoyang akibat insiden kekerasan maut pada Kamis, 4 Maret 2010. Puluhan anak buahnya menyerbu dan mengoyak-oyak kantor HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
Penulis menyebutkan bahwa dalam 2 tahun terakhir ini, aksi demo yang cenderung keras dan anarkis seolah menjadi kehidupan keseharian di Makassar. Jika tayangan dari berbagai stasiun televisi disambung-sambungkan, akan terbentuk suatu cerita lengkap yang memberikan kesan thefailedstate untuk Republik Indonesia yang amat kuat.
Failed State (negara gagal) ialah negara yang tidak mampu lagi memberikan perlindungan dan kedamaian kepada rakyatnya. Aksi-aksi unjuk rasa belakangan ini di Kota Makassar memberikan kesan kuat bahwa polisi sudah gagal total mengakkan keamanan dan ketertiban umum. Aparat penegak hukumnya nyaris kehilangan wibawanya secara total, sehingga situasi sosial-keamanan-ketertiban menjurus total chaos.
Aksi kekerasan yang terjadi pada Kamis 4 Maret telah membuat semua pihak tersentak. Sekretariat diserbu dan diobrak-abrik polisi sebagai tindakan balasan atas penyerbuan mahasiswa terhadap kantor Polsek Kota Makasar. "Krisis Makassar" sontak menyulut aksi serupa oleh HMI di berbagai kota, antara lain Ambon, Riau dan Jakarta (Cikini), sebagai wujud solidaritas. Insiden 4 Maret itu sendiri merupakan buntut dari aksi-aksi kekerasan sebelumnya terkait dengan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) tentang skandal Bank Century. Banyak pihak was-was bahwa kejadian 4 Maret di Makassar dapat dijadikan "entry point" bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif dalam upaya menjatuhkan pemerintahan SBY-Boediono. HMI adalah organisasi ke-mahasiswaan yang mempunyai nama besar. Yang kini, para alumninya banyak menduduki jabatan strategis di pemerintahan maupun universitas.
Setiap jenderal polisi yang ditugaskan sebagai Kapolda Sulselbar mestinya mengerti budaya Bugis-Makassar. Penyerbuan polisi ke kantor HMI sepertinya sudah masuk dalam wilayah "Siri", karena wisma itu dianggap simbol kehormatan generasi muda intelektual dan pusat perlawanan terhadap arogansi kekuasaan regime. Untuk menegakkan sebuah "Siri", orang Bugis-Makassar siap mempertaruhkan nyawanya. Namun, Mahasiswa yang terlibat dalam tindakan menyerbu dan merusak kantor Polsek harus dihukum, sebab hal tersebut merupakan tindakan anarkis yang merendahkan martabat aparat negara. Kebijakan Kapolri yang selalu mencopot Kapolda atau Kapolres setiapkali terjadi insiden kekerasan harus dikecam. Dengan wibawa yang dimilikinya, Kapolri justru harus melindungi setiap anak-buahnya yang menghadapi krisis, kecuali jika anak-buahnya terbukti melakukan tindakan brutal dan melanggar hukum.









BAB III
KOMENTAR

Dari artikel tersebut, terdapat pernyataan yang saya setujui dan tidak saya setujui. Salah satu yang tidak saya setujui ialah ketika penulis menyebutkan bahwa kesan thefailedestate di Republik Indonesia sangat kuat. Menurut saya, hal tersebut tidak benar. Mengapa penulis mencap keseluruhan Republik Indonesia, padahal ciri-ciri tersebut hanya ditunjukkan oleh satu atau beberapa daerah di RI saja. Jangan sembarangan mencap buruk terlebih dahulu kepada negeri sendiri. Toh penulis juga merupakan warga Republik Indonesia. Apakah penulis merasa bahwa pemerintah RI sudah tidak lagi mampu membuka perlindungan kepada nyawa dan harta benda penulis? Saya yakin, Republik Indonesia ini masih aman. Toh, penulis hingga hari ini masih bisa menulis artikel dalam keadaan hidup, itu berarti bahwa Indonesia masih mampu memberikan perlindungan kepada penulis. Jika penulis merasa RI tidak lagi aman atau RI tidak mampu lagi memberikan perlindungan, lantas mengapa hingga hari ini penulis masih berada di Indonesia dan masih menjadi WNI. Suatu hal yang bodoh menurut saya, jika ada seseorang yang tidak percaya akan perlindungan negaranya namun ia masih menetap di negara yang tidak dipercayanya tersebut.
Negara kita, Indonesia menganut paham demokrasi, dimana yang memiliki arti pemerintahan yang berasal dari rakyat. Banyak sekali keputusan pemerintah yang berdasarkan keinginan dan pendapat rakyat, yang dalam hal ini mahasiswa. Beberapa keputusan bahkan diambil karena tuntutan mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Ya, demokrasi identik dengan demonstrasi. Mahasiswa identik dengan demonstrasi  turun ke jalan. Namun, demonstrasi yang kini dilakukan oleh mahasiswa Makassar, identik dengan kekerasan dan anarkisme. Aksi-aksi turun ke jalan tentu selalu ada resikonya, yaitu dapat memicu kekerasan serta pengrusakan terhadap lingkungan sekitar. Entah itu karena ada provokator atau memang merasa tersinggung oleh perilaku atau omongan pihak lain. Saya mendengar dari seorang psikolog, bahwa seseorang yang pendiam, ketika ia berada di gerombolan kelompoknya, ia akan terbawa bersikap berani dan anarkis seperti yang dilakukan oleh teman-temannya. Terkadang, mahasiswa hanya terseret emosinya sendiri dan lupa akan tujuan atau esensi awal demonstrasi yang dilakukannya.
Ada banyak kemungkinan mengapa mahasiswa Makassar cenderung melakukan tindakan anarkis dan penutupan jalan ketika melakukan demonstrasi. Menurut saya, salah satu penyebabnya ialah karena mereka tidak membenahi diri dengan metodologi aksi demonstrasi yang lebih baik, hanya mengulang apa yang dilakukan oleh seniornya. Mereka berharap demonstrasi aspirasi mahasiswa bisa diliput media massa secara luas dan didengarkan oleh pejabat.
Setiap ada demonstrasi yang disertai kerusuhan, selalu bersamaan waktunya dengan peristiwa politik yang cukup besar, apakah itu Pemilu, Pilkada, atau lainnya. Ketika kasus Century sedang digembor-gemborkan, tiba-tiba saja muncul kasus ini. Saya tidak menutup hati untuk curiga kasus demonstrasi di Makassar ini hanyalah pengalihan isu saja. Bagaimana tidak, toh sudah ada buktinya bahwa banyak aktivis yang tiba-tiba kaya mendadak karena berdemo.
Secara kultural, orang-orang Makassar memang mudah emosi. Kebetulan, ayah saya adalah suku Bugis/Makassar. Ketika saya menanyakan mengapa orang Makassar mudah panas, ayah saya menjawab : “Mungkin karena udara di Makassar yang panas, sehingga mempengaruhi hormon dan pikiran mereka.” Pendapat yang mungkin untuk sebagian orang menggelitik, tapi menurut saya tidak  salah. Jika saya bandingkan, orang yang berada/tinggal di daerah yang sejuk cenderung lebih bisa menahan emosinya dibanding orang yang berada di daerah yang panas. Toh, ayah saya mengaku ketika pindah ke Bandung, ia merasa ia lebih bisa mengontrol emosinya.
Saya setuju dengan pernyataan di artikel yang menyebutkan bahwa untuk menegakkan sebuah "Siri", orang Bugis-Makassar siap mempertaruhkan nyawanya. Ya, hal itu memang benar. Walaupun tidak memiliki marga Andi (marga untuk keturunan orang yang dihormati di Makassar) atau hanya orang miskin, namun mereka memiliki harga diri. Dalam hal ini, penyerbuan polisi ke kantor HMI (dianggap sebagai harga diri HMI) yang dibalas dengan aksi anarkis mahasiswa. Padahal sebenarnya Siri bukanlah untuk kriminalitas, melainkan Siri diarahkan ke arah yang lebih positif. Yaitu, tidak menerima suap atau korupsi. Mahasiswa telah salah menafsirkan siri dengan melakukan aksi demo yang anarkis.
Dalam artikel, disebutkan bahwa “Kapolri justru harus melindungi setiap anak-buahnya yang menghadapi krisis, kecuali jika anak-buah terbukti melakukan tindakan brutal dan melanggar hukum.” Saya hanya ingin menambahkan bahwa ada 2 penyerangan yang jelas disana terdapat unsur kekerasan yang diilakukan oknum polisi dengan adanya pelanggaran HAM. Yaitu dengan adanya teror terhadap mahasiswa, kekerasan dan penganiayaan, dan mengejar mahasiswa ke rumah-rumah warga seperti layaknya pencuri. Kekerasan yang dilakukan aparat merupakan cermin bahwa mereka belum bisa mereformasi diri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Apalagi, ketika masyarakat menyerang mahasiswa, polisi tidak melarang mereka. Polisi hanya mengambil tindakan ‘diam’. Saya juga mendengar berita bahwa masyarakat tersebut diantaranya preman-preman yang diberi upah untuk melakukan penyerangan terhadap mahasiswa. Bahkan, Kapolda mengatakan bahwa penyerangan ini tanpa komandonya dan ada gerakan yang ingin menurunkannya dari kursi jabatannya sekarang.
Saya setuju dengan pernyataan di artikel di atas yang menyebutkan bahwa “kebijakan Kapolri yang selalu mencopot Kapolda atau Kapolres setiapkali terjadi insiden kekerasan harus dikecam.” Seperti yang sudah kita ketahui, tiap orang membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan cara beradaptasi yang berbeda-beda. Setidaknya, berilah waktu kepada Kapolda/Kapolres untuk mengamati masalah yang dihadapi kedepannya. Mungkin mereka tidak sanggup mengatasi kasus yang pertama, tapi berikanlah mereka kesempatan untuk menghadapi dan mengatasi masalah yang kedua. 
BAB IV
KESIMPULAN

Saya tidak setuju dengan pernyataan di artikel yang menyebutkan kesan the failed estate (negara yang tidak mampu lagi memberikan perlindungan terhadap nyawa dan harta benda rakyatnya) di RI sangat kuat. Penulis mencap keseluruhan Republik Indonesia, padahal ciri-ciri tersebut hanya ditunjukkan oleh satu atau beberapa daerah di RI saja. Suatu hal yang bodoh menurut saya, jika ada seseorang yang tidak percaya akan perlindungan negaranya namun ia masih menetap dan menjadi warga negara di negara yang tidak dipercayanya tersebut.
Indonesia menganut paham demokrasi, dimana yang memiliki arti pemerintahan yang berasal dari rakyat.  Demokrasi tentunya identik dengan  demonstrasi. Beberapa keputusan pemerintah bahkan diambil karena tuntutan mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Namun, demonstrasi yang kini dilakukan oleh mahasiswa Makassar, identik dengan kekerasan dan anarkisme. Terkadang, mahasiswa hanya terseret emosinya sendiri dan lupa akan tujuan atau esensi awal demonstrasi yang dilakukannya.
Ada banyak alasan mengapa terjadi banyak kasus demonstrasi yang anarkis di Makassar. Salah satu penyebabnya ialah karena mereka tidak membenahi diri dengan metodologi aksi demonstrasi yang lebih baik, hanya mengulang apa yang dilakukan oleh seniornya. Mereka berharap demonstrasi aspirasi mahasiswa bisa diliput media massa secara luas dan didengarkan oleh pejabat. Ketika kasus Century sedang digembor-gemborkan, tiba-tiba saja muncul kasus ini. Saya tidak menutup hati untuk curiga kasus demonstrasi di Makassar ini hanyalah pengalihan isu saja oleh pihak politik tertentu. Orang Makassar memang tergolong mudah emosi. Apalagi, jika menyinggung “Siri”. Padahal sebenarnya Siri bukanlah untuk kriminalitas, melainkan Siri diarahkan ke arah yang lebih positif. Yaitu, tidak menerima suap atau korupsi. Mahasiswa telah salah menafsirkan siri dengan melakukan aksi demo yang anarkis. Sebagai mahasiswa, alangkah baiknya untuk tidak membuang kesempatan yang telah diberikan oleh orang tua untuk kuliah, dengan mati sia-sia karena demokrasi yang berujung anarkis. Demonstrasi tentu baiknya dilakukan dengan tidak anarkis atau rusuh, atau melalui media tulisan saja. Sehingga, bukan mulut saja yang bekerja, melainkan otak juga.
Saya hanya ingin menambahkan bahwa ada 2 penyerangan yang jelas disana terdapat unsur kekerasan yang diilakukan oknum polisi dengan adanya pelanggaran HAM. Yaitu dengan adanya teror terhadap mahasiswa, kekerasan, penganiayaan dan mengejar mahasiswa ke rumah-rumah warga seperti layaknya pencuri. Bahkan ketika masyarakat menyerang mahasiswa, polisi tidak melarang mereka. Masyarakat tersebut diantaranya preman-preman yang diberi upah untuk melakukan penyerangan terhadap mahasiswa. Aksi kekerasan itu tidak sepatutnya dilakukan anggota Polri yang memiliki semboyan sebagai penegak hukum, pelindung, dan pengayom masyarakat.
Kebijakan Kapolri yang selalu mencopot Kapolda atau Kapolres setiapkali terjadi insiden kekerasan memang harus dikecam. Setiap orang membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan cara beradaptasi yang berbeda-beda. Mungkin mereka tidak sanggup mengatasi kasus yang pertama, tapi berilah mereka kesempatan untuk menghadapi dan mengatasi insiden kekerasan yang kedua. Dalam hal itu, Kapolda atau Kapolres sudah menganalisis dan mengetahui apa yang harus dilakukan olehnya berdasarkan pengalaman dari insiden yang sebelumnya. 
Dalam kasus ini, mungkin ada pihak-pihak yang ingin mengadu domba polisi dan mahasiswa. Namun, kuncinya jelas bahwa hal ini tidak akan terjadi jika polisi dan mahasiswa mampu menahan emosi mereka, rundingkan terlebih dahulu masalah ini, karena menurut saya kasus ini diakibatkan kesalahpahaman saja.


BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Lesmana, Tjipta. (8 Maret 2010). Makasar Membara. http://bataviase.co.id/. [9 April 2010]
Saleh, Arif. Wahyudi. (8 Maret 2010). Ada Indikasi Pelanggaran HAM. http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/309190/. [9 April 2010]
Yusrandarmawan. (4 Maret 2010). Mengapa Demo Mahasiswa Makassar sering rusuh? http://demonstrasi_makassar.wordpress.com/ . [10 April 2010]

No comments:

Post a Comment