Pentingnya Otonomi Daerah
Selama Masa Orde Baru, harapan yang besar dari Pemerintah Daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan Pemerintahan Pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam mambiayai Anggaaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket UU yaitu UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kebijakan pemeberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam 2 hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman diintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.
Kritik yang muncul selama ini adalah Pemerintah Pusat terlalu dominan terhadap Daerah. Pola pendekatan yang sentralisitik dan seragam yang selama ini yang dikembangkan Pemerintah Pusat telah mematikan inisiatif dan kreativitas Daerah. Pemerintah Daerah kurang diberi keleluasaan ( local discreation) untuk menentukan kebijakan daerahnya sendiri. Otonomi yang selama ini deberikan tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai, penyiapan SDM yang profesional, dan pembiayaan yang adil. Akibatnya, yang terjadi bukannya tercipta kemandirian Daerah, tetapi justru ketergantungan Daerah terhadap Pemerintah Pusat.
Besarnya arahan dari pemerintah pusat ini dikarenakan kondisi SDM yang dirasa masih relatif lemah dan untuk menjamin stabilitas nasional. Karena 2 alasan ini, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya, pandangan ini terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya, Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah memunculkan rendahnya akuntabilitas, memperlambat pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta memperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah.
Dikeluarkannya kedua UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 memberikan implikasi yang sangat mendasar yang mengarah pada perlu dilakukannya reforamsi sektor publik dan dipakainya paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah. Reformasi sektor publik tersebut harus diikuti dengan reformasi kelembagaan dan reformasi manajemen sektor publik. Reformasi kelembagaan menyangkut pemebenahan seluruh alat-alat negara di daerah baik struktrur maupun infrastrukurnya. Kunci reformasi kelembagaan adalah pemberdayaan masing-masing elemen di daerah, yaitu masyarakat umum sebagai “stakeholder”, Pemerintah Daerah sebagai eksekutif, dan DPRD sebagai “sharehoders” dengan memberikan tanggung jawab, weewenang, dan kesempatan yang lebih luas untuk menentukan kebijakan daerahnya sendiri.
Reformasi manajemen sektor publik sangat penting dilakukan, karena perubahan tidaklah sekedar perubahan paradigma, namun juga perubahan manajemen. Berdasarkan pengamatan dan analisis para pakar diperoleh kesimpulan bahwa, sesungguhnya tuntutan yang mendesak dalam perluasan otonomi ada tiga pokok permasalahan. Pertama, sharing of power. Kedua, distribution of income, dan ketiga kemandirian sistem manajemen di Daerah.
Masyarakat di daerah sudah menunggu sejak lama atas pemeberian peran yang lebih besar untuk membangun daerahnya sendiri berdasarkan prioritas dan kebutuhan masyarakat sendiri. Agar daerah bisa secepatnya keluar dari krisis dan tidak terisolasi dari dunia internasional, maka pemberian otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis yang harus dilakukan pemerintah. Oleh karena itu, maka diperlukan upaya-upaya strategis untuk menjawab tuntutan masyarakat sekaligus menciptakan daya tahan pembangunan daerah yang terukur secara sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta lingkungan hidup.
Setiap negara tentunya berupaya secara maksimal untuk menciptakan kerangka kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan investasi dalam negeri serta mampu mendorong masyarakat untuk bermain di pasar global.
Sementara itu dari sisi internal, terdapat tuntutan yang kuat dari masyarakat terhadap pelaksanaaan akuntabiliatas publik oleh lembaga publik yang ada termasuk Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemberian Otonomi Daerah dan desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan otonomi dan desentralisasi tersebut adalah adanya pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam menggunkaan dana, baik yang berasal dari Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Daerah sendiri. Namun harus diperhatikan bahwa pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam menggunakan dana tersebut harus diikuti ndengan pemberian keleluasaan dan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menggunakan dana sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat daerah.
Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat. Dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapakan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangungan ekonomi (enginee of growth). Dari sisi eksternal, daerah dituntut untuk menarik investasi asing agar bersama-sam swasta domestik mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan multiplier effect yang besar. Pemebrian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan kelelluasaan kepada daerha dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya tergantung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut, yaitu:
1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah,
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat,
3. Memberdayakan dan menciptakakn ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
Arah Pengembangan Otonomi Daerah di Indonesia
UU No 27 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam UU ini disebutkan bahwa pengembangan otonomi pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran sertra masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Pemerintah Daerah secara prporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan pemanfaatan dan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Hal – hal yang mendasar dalam UU ini adalah kuatnya upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan peran dan fungsi DPRD. UU ini memberikan otonomi secara utuh kepada daerah kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Artinya, saat sekarang daerah sudah diberi kewenagan yang utuh dan bulat untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat ini, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satunya berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah, dari command and control menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik.
Salah satu aspek dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Seperti sudah secara umum deketahui, anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pmewrintah Daerah. Sebagai instrumen kebijakan, Anggaran Daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan bewsar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengamnilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses pentusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi prioritas dan preferensi daerah yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, akuntabilitas publik merupakan kata kunci. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dan publik (public money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan Sistem Poengelolaan Keuangan Daerah dan Anggaran Daerah yang berorientasi pada kinerja. Hal tersebut adalah untuk mendukung trciptanya akuntabilitas publik Pemerintah Daerah dalam rangka otonomi dan desentralisasi.
Pemberian otonomi yang luas dan desentralkisasi yang sekarang ini dinikmati Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, membuka jalan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pembaharuan dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah dan Anggaran Daerah. Kemnculan UU No 22 dan 25 Tahun 1999 telah melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah, paradigma baru tersebut berupa tuntutan untuk melakukan oengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (public oriented). Hal tersebut meliputi tuntutan kepada pemerintah daerah utnuk membuat Laporan Keuangan dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
Dinamika Pengaturan Manajemen Keuangan Daerah
Sebelum Desentralisasi
Pada masa sebelum desentralisasi, pemerintah daerah diatur dalam UU. No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU tersebut juga menjelaskan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam UU ini pemerintah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan untuk bisa menjalankan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Menurut pasal 55, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari 3 komponen besar yaitu:
Ø Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi:
· Hasil pajak daerah
· Hasil retribusi daerah
· Hasil perusahaan daerah (BUMD)
· Lain-lain hasil usaha daerah yang sah
Ø Pendapatan yang berasal dari pusat, meliputi:
· Sumbangan dari pemerintah
· Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan
Ø Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Pendapatan yang berasal dari pusat mencerminkan ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Disamping itu terdapat konsekuensi dari besarnya dana dari pusat kepada kebijakan proyek pemerintah pusat yang secara fisik implementasinya berada di daerah, sehingga terdapat beberapa proyek Pemerintah Pusat yang dilaksanakan di daerah yang dibiayai oleh pemerintah pusat melalui APBN namun dana pembiayaan proyek tersebut juga termasuk di dalam Anggaran Pemerintah Daerah (APBD) yang disebut double counting.
Apabila potensi keuangan daerah belum mencukupi, maka pemerintah pusat memberikan sejumlah sumbangan kepada pemerintah daerah. Peranan pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan.
Ketergantungan ini menjadi sarana bagi pemerintah pusat untuk menjalankan praktek sentralisasi terselubung.
Setelah Reformasi
Dengan adanya desentralisasi, pemerintah mengeluarkan UU otonomi daerah, yaitu UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU No.22 mengatur pelimpahan wewenang dari pemeriintah pusat kepada pemerintah daerah, yang perlu dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 25/1999. Tanpa adanya otonomi keuangan daerah tidak akan pernah ada otonomi daerah.
Menurut UU No. 25/1999 sumber-sumber keuangan daerah terdiri dari (Kuncoro, 2004):
Ø PAD yang terdiri dari
· Pajak Daerah
· Retribusi Daerah
· Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya
· Lain-lain pendapatan yang sah
Ø Dana Perimbangan
Ø Pinjaman Daerah
Ø Lain-lain pendapatan yang sah (hibah dan dana darurat)
Sumber-sumber PAD masih mengacu pada UU No. 8/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang sangat membatasi kreativitas daerah dalam menggali sumber penerimaan aslinya, dengan adanya pembatasan jenis retribusi dan pajak yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah.
Manajemen Keuangan Daerah Dalam Konteks Otonom Daerah
Secara garis besar, manajemen keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Evaluasi terhadap pengelolaan keuangan daerah dan pembiayaan pembangunan daerah mempunyai implikasi yang sangat luas. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.
Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah dan APBD
Paradigma baru pengelolaan keuangan daerah dan APBD dilatar-belakangi oleh hal-hal berikut:
· Meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan publik secara transparan dan memenuhi prinsip akuntabilitas publik.
· Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, diantaranya:
- PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan;
- PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah;
- PP No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;
- PP No. 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah;
- PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah;
- PP No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
- PP No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3. Sistem, prosedur, format, dan struktur APBD yang berlaku selama ini kurang mampu mendukung tuntutan perubahan sehingga perlu perencanaan APBD yang sistematis, terstruktur dan komprehensif.
Perencanaan APBD dengan paradigma baru tersebut adalah:
· APBD yang berorientasi pada kepentingan publik;
· APBD disusun dengan pendekatan kinerja;
· Terdapat keterkaitan yang erat antara pengambil kebijakan (decision maker) di DPRD dengan perencanaan operasional oleh pemerintah daerah dan penganggaran oleh unit kerja; dan
· Terdapat upaya untuk mensinergikan hubungan antara APBD, sistem dan prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah, Lembaga Pengelola Keuangan Daerah dan Unit-unit Pengelola Layanan Publik dalam pengambilan kebijakan.
Fase Otonomi Daerah ditinjau dari segi penerapan dan perundang-undangan
Otonomi daerah di Indonesia sudah berjalan selama kurang lebih 9 tahun. Fase otonomi daerah di Indonesia terbagi menjadi 3 tahap/fase.
FASE PERTAMA
Fase pertama otonomi daerah di Indonesia dimulai dengan adanya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan daerah yang dilaksanakan 1 januari 2001. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Fase pertama ini menjadi fase yang sangat signifikan karena berhasil mengubah sistem pemerintahan Indonesia terdahulu yang cenderung merupakan salah satu Negara paling sentralistik di Indonesia.
Dengan adanya otonom daerah kini daerah mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan mengelola berbagai bidang seperti ekonomi, politik, dan peraturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Tujuan dari pengaturan tersebut adalah tidak lain untuk meningkatkakan kesejahteraan rakyat , dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat dan daerah lainnya.
Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005):
1. eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis.
2. setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan demokrasi.
3. kesejahteraan dicapai melalui pelayanan public.
4. pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada yang bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence).
5. core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tenaga kerja dan pemanfaatan lahan.
Didalam fase pertama otonomi daerah ini terdapat pembagian antara kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah pusat adalah dalam urusan politik luar negeri, pertahan, moneter, dan hukum. Sedangkan yang menjadi kewenagan dari pemerintah daerah adalah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib meliputi yaitu yang bekaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan, kebutuhan hidup minimal dan prasarana lingkungan dasar. Sedangkan urusan pilihan berkaitan erat dengan potensi unggulan daerah.
FASE KEDUA
Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai kendala yang ada di dalamnya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah.
FASE KETIGA
Proses melakukan amandemen UU otonomi daerah merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing-masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.4 Peraturan Pengelolaan Keuangan Daerah di Indonesia
Peraturan Perundang-undangan Pendukung Reformasi Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan Negara/daerah di Indonesia telah banyak mengalami perubahan (perbaikan) seiring dengan semangat reformasi manajemen keuangan pemerintah untuk mencapai keberhasilan Otonomi Daerah. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya paket peraturan perundangan di bidang keuangan Negara. beserta peraturan-peraturan turunannya yang juga telah banyak mengalami revisi dan penyempurnaan. Beberapa peraturan terkait dengan implementasi Otonomi Daerah yang telah dikeluarkan adalah paket undang-undang bidang keuangan negara yakni UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksanaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dalam rangka mengimplementasikan perundang-undangan bidang keuangan negara telah dikeluarkan berbagai aturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), antara lain PP No. 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan PP No. 21 tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga, PP No. 24 tahun 2004 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, dan lain-lain. Khusus berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Sebagai tindak lanjut PP No. 58 tahun 2005, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan terakhir telah direvisi dengan Permendagri No. 59/2007 tentang Perubahan Atas Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan ini khusus mengatur mengenai pedoman pengelolaan keuangan daerah yang baru, sesuai arah reformasi tata kelola keuangan negara/daerah.
1. UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara
Keungan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, dan segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan Negara meliputi hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
Keuangan Negara juga terkait Penerimaan Negara, Pengeluaran Negara, Penerimaan Daerah, Pengeluaran Daerah, Kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah juga merupakan lingkup Keuangan Negara.
UU ini mengatur mengenai koordinasi Pemerintah Pusat dan Bank sentral dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah berdasarkan undang-undang perimbangan kepada pemerintah daerah bedasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2. UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBD dan APBN. Perbendaharaan Negara meliputi: pelaksanaan pendapatan dan belanja Negara atau daerah, pelaksanaan penerimaan, dan pengeluaran Negara/Daerah, pengelolaan kas, piutang dan utang Negara/Daerah pengelolaan investasi dan barang milik Negara/Daerah, penyelenggaraan Akuntansi dan Sistem Informasi Manajemen Keuangan Negara/Daerah, penyusunan laporan pertanggung jawaban pelaksanaan APBN/APBD, penyelesaian kerugian Negara/daerah, pengelolaan Badan Layanan Umum, Perumusan standar, kebijakan, serta system dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan Negara dalam rangka pelaksanaan APBD/APBN.
Terkait pengelolaan piutang, pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dakam Undang-Undang tentang APBN.
Menurut UU ini, penatausahaan dan pertanggung jawaban APBN/APBD meliputi Akuntansi Keuangan, Penatausahaan Dokumen, Pertanggung jawaban Keuangan, Laporan Keuangan, dan Komite Standar Akuntansi Pemerintahan.
Sesuai tujuan bahwa dana pemerintah pemerintah digunakan untukkesejahteraan raktayat,maka UU ini mengatur mengenai pengelolaan keuangan Badan layanan umum. Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningakatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kekayaan badan layanan umum merupakan kekayaan Negara/Daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan badan layanan umum yang bersangkutan. Pembinaan keuangan badan layanan umum pererintah pusat dilakukan oleh menteri keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan. Pembinaan badan layanan umum pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.
3. UU No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara
Pemerikasaan adalah proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif dan professional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas dan keandalan0 informasi mengenai pengelolaan dan tanggungjawab keuangan Negara. Pemeriksaan keuangan Negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan Negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan Negara.
Peraturan Pemerintah Pendukung Reformasi Keungan Publik
Perubahan yang sangat mendasar dalam peraturan pemerintah adalah bergesernya fungsi Ordonancering dari Badan/Bagian/biro Keuangan ke setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan SKPD sebagai accounting entity berkewajiban untuk membuat laporan keuangan SKPD serta penegasan bahwa Bendahara Pengeluaran sebagai Pejabat Fungsional. Oleh karena itu, setiap Bendahara Pengeluaran harus memiliki keahlian khusus di bidang kebendaharaan dan dibuktikan dengan sertifikat keahlian dari lembaga yang berwenang untuk menyelenggarakan Diklat Sertifkasi Bendahara Pengeluaran.
Peraturan-peraturan baru yang mengatur tentang pengelolaan keuangan daerah harus diimplementasikan secara bertahap. Oleh karena itu, setiap Daerah harus mulai mempersiapkan semua perangkat yang diperlukan termasuk menata dan meningkatkan kemampuan SDM Aparaturnya khususnya di bidang keuangan guna mengantisipasi perubahan-perubahan dalam pengelolaan APBD dan pertanggungjawabannya pada akhir tahun anggaran. Berhasil-tidaknya pelaksanaan suatu sistem pengelolaan keuangan daerah sangat tergantung dari kompetensi para pengelolanya sehingga peningkatan kualitas SDM pengelola merupakan hal yang wajib dilaksanakan.
Peraturan Pemerintah Pendukung Reformasi Keungan Publik, diantaranya:
1. PP no 8/2005 tentang pelaporan keuangan dan kinerja instansi pemerintah
Setiap etintas pelaporan wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dan laporan kinerja dalam rangka pertanggung jawaban pelaksanaan APBN/APBD laporan keuangan dalam pertanggung jawaban pelaksanaan APBN/APBD. Laporan yang dimaksud adalah bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan Negara/Daerah selama satu periode yang disesuaikan dengan ketentuan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Laporan keuangan pemerintah pusat/daerah tediri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan.
Laporan keuangan daerah disusun oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran sebagai pertanggung jawaban pelaksanaan APBD pada SKPD yang bersangkutan. Laporan disampaikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota melalui Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selamnat lambat nya dua bulan setelah tahun anggaran berakhir. Setiap keterlambatan penyampaian laporan keuangan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran pada tingkat pemerintah daerah yang disebabkan oleh kesengajaan dan/atau kelalaian, Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendaharawan Umum Daerah member sanksi berupa penangguhan Anggaran atau penundaan Anggaran Pencarian Dana.
Kemudian Gubernur/Bupati/Walikota memberikan tanggapan dan melakukan penyesusaian terhadap Laporan Keuangan berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah serta koreksi lain berdasarkan SAP. Berdasarkan Laporan Keuangan tersebut Menteri Keuangan menyusun rancangan UU tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Laporan Kinerja merupakan ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang pencapaian kinerja. Laporan disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBD/APBN. Bentuk dan isi Laporan Keuangan disesuaikan dengan bentuk dan isi rencana kerja dan anggaran sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Pemerintah terkait.
2. PP No.24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
SAP merupak prisnsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan Pemerintah yang dilengkapi dengan Pengantar Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP). Bagi Komite Standar Akuntasi Pemerintahan, SAP merupakan rujukan penting dalam menyusun Laporan Keuangan dan pemeriksa dalam mencari pemecahan atas sesuatu masalah yang diatur secara jelas.
SAP diperlukan dalam rangka penyusunan laporan pertanggung jawaban pelaksanaan APBN/APBD yang berupa Laporan Keuangan.
3. PP No.56/2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah
System Informasi Keuangan Daerah (SIKD) adalah suatu system yang mendokumentasikan, mengadministrasikan dan mengelola data pengelolaan Keuangan Daerah dan data terkait lainnya. SIKD akan menjadi informasi bagi masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah.
SIKD di tingkat daerah bertujuan untuk membantu Kepala Daerah menyusun anggaran daerah dan laporan pengelolaan keuangan daerah, membantu Kepala Daerah merumuskan kebijakan Keuangan Daerah, membantu Kepala Daerah dan intansi terkait lainnya dalam melakukan evaluasi kinerja keuangan daerah, membantu menyediakan kebutuhan statistik Keuangan Daerah. SIKD di dareah juga dapat digunakan untuk menyajikan informasi Keuangan Daerah secara terbuka kepada masyarakat dan mendukung penyediaan Informasi Keuangan Daerah. Informasi Keuangan Daerah yang disampaikan oleh Daerah kepada Pemerintah (Menteri Keuangan dan Mentri Dalam Negri).
Dalam PP ini juga disebutkan bahwa apabila Pemerintah Daerah tidak menyampaikan Informasi Keuangan Daerah hingga satu bulan setelah batas waktu yang ditetapkan, maka akan diberikan peringatan tertulis oleh Mentri Keuangan. Sedangkan apabila informasi tersebut tidak disampaikan hingga dua bulan setelah diterbitkannya peringatan tertulis, maka Mentri Keuangan akan menetapkan sanksi. Sanksi yang diberikan berupa penundaan penyaluran Dana Perimbangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.
4. PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No.13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Peraturan ini adalah peraturan yang lebih kompeherensif tentang pengelolaan keuangan daerah. Penyusunan Peraturan yang Kompeherensif bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi Pemerintah Daerah untuk mengimplementasikan, adanya sinkronasi dan keselarasan antar pengaturan, tidak menimbulkan kebingungan bagi pelaksanaan dan pemeriksa dan kapasitas kemampuan daerah.
PP ini memuat Tata cara penyusunan dan Pertanggung jawaban Keuangan Daerah, yang disesuaikan dengan UU No.17/2003, UU No.25/2004, UU No.32/2004 dan lain-lain. Selanjutnya PP ini mengatur penatausahaan dan perbendaharaan yang disesuaikan dengan UU No.1/2004 dan Pengawasan Keuangan Daerah.
Pengelolaan Keuangan Daerah menurut PP No.58/2005 adalah keseluruhan kegiatan yang dimulai dari perencanaan Keuangan Daerah, pelaksanaan keuangan daerah, penatausahaan keuangan daerah, pelaporan keuangan daerah, pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan pengawasan Keuangan daerah.
5. PP No.3/2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah yaitu Laporan atas penyelenggaeaan pemerintahan daerah selama satu tahun anggaran berdasarkan Rencana Kerja Pembangunan daerah (RKPD) . LPPD disusun dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas disusun dengan format seperti pada PP dan disampaikan paling lambat 3 bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Peraturan Pelaksanaan Keuangan Daerah
Menurut Pemendagri No.13/2006 Keuangan Daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam menyelenggarakan pemerintah daerah yang bisa dinilai dengan uang, termsuk bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah. Pengelolaan Keuangan Daerah adalah seluruh kegiatan meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.
Pemerintah Daerah berkewajiban menyampaikan laporan daerah, termasuk laporan pengelolaan keuangan daerah ke pemerintah pusat. Dan hal tersebut membutuhkan Sistem Informasi yang tertata dengan baik.Salah satu Dasar pemikiran Pemendagri N0.13/2006 yaitu menjamin kontinuitas penataan manajemen keuangan daerah.
Reformasi Keuangan Daerah
Reformasi tata kelola keuangan daerah telah digulirkan oleh pemerintah pusat, yang merupakan langkah maju khususnya dalam menata sistem pemerintahannya. Reformasi tata kelola keuangan daerah secara ideal tidak hanya mencakup reformasi akuntansi keuangannya. Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik merupakan sesuatu yang sangat fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan sumber-sumber daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan daerah.
Reformasi system Pembiayaan
Sumber-sumber keuangan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan pendapatan daerah lainnya yang sah. Dalam meningkatkan PAD, daerah dilarang untuk menetapkan peraturan daerah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah serta kegiatan ekspor dan impor.
Dalam undang-undang No.33/2004 ini adalah mengenai pinjaman daerah. Pemerintah diharuskan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya melalui pinjaman dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan non bank dan masyarakat. Aturan ini memperkuat aturan tentang pinjaman daerah yang diatur dalam UU No.17/2003 tentang keuangan Negara. Penerimaan dana dari penerbitan dan penjualan obligasi daerah digunakan untuk pembiayaan kegiatan pemerintah daerah dalam menyediakan barang-barang publik.
Defisit anggaran juga merupakan hal yang diatur dalam undang-undang ini. Apabila suatu daerah mengalami deficit anggaran, maka pembiayaan tersebut ditutup dari :
- SILPA tahun lalu
- Dana cadangan
- Penjualan kekayaandaerah yang dipisahkan
- Pinjaman daerah
Reformasi system Pengangaran
Berdasarkan UU No. 22 tahun1999 menyebabkan perubahan dalam manajemen keuangan daerah yaitu perlu dilakukannya budgeting reform atau reformasi anggaran.
Reformasi anggaran meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggara.
Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari tradisional budget ke performace budget. Tradisional budget di dominasi oleh penyusunan anggaran yang bersifat line-item dan incrementaliss, yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. Hal ini sering kali bertentangan dengan kebutuhan riil dan kepentingan masyarakat. Dengan basis seperti ini, APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan, serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintah atasan. Hal tersebut menunjukan terlalu dominannya peranan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.
Performace budget pada dasarnya adalah sstem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik.
Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah tersebut adalah transparasi, akuntabilitas, dan value for money.
Transparasi adalah keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan anggaran daerah. Transparas memberikan arti bahwa angggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat.
Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban public yang berarti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan keada DPRD dan masyarakat.
Value for money berarti diterapkan tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efesiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihandan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti penggunaan dana masyarakat dapat menghasilkan output yang maksimal. Efektifitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut dapat , mencapai target-target atau tujuan kepentingan umum.
Aspek lain dalam reformasi anggaran adalah perubahan paradigma anggaran daerah. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghasilakan anggaran daerah yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan pengharapan dari masyarakat daerah secara ekonomis, efesiensi dan efektif.
Prinsip-prinsip pokok dalam penganngaran dan manajemen keuangan daerah
- Komprehensif dan disiplin
- Fleksibilitas
- Terprediksi
- Kejujuran
- Informasi
- Transparansi dan akuntabilitass
Reformasi system akuntansi
Reformasi Keuangan Daerah ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang menggantikan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah dan Undang-Undang No. 32 tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah yang mengurusi rumah tangganya sendiri.
Atas dasar undang-undang tersebut dikeluarkan pula peraturan yang mengakibatkan adanya perubahan yang mendasar dalam pengelolaan anggaran daerah (APBD) tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Secara umum pelaksanaan reformasi keuangan Pemda yaitu dengan melakukan perubahan sistem akuntansi keuangan daerah provinsi, kabupaten, kota yaitu bergesernya yang dari semula melalui pendekatan dengan sistem pencatatan Tata Buku Tanggal (Single Entry System) dengan basis pencatatan atas ‘’dasar kas’’ (kas stelsel basis).
Secara umum pelaksanaan reformasi keuangan Pemda yaitu dengan melakukan perubahan sistem akuntansi keuangan daerah provinsi, kabupaten, kota yaitu bergesernya yang dari semula melalui pendekatan dengan sistem pencatatan Tata Buku Tanggal (Single Entry System) dengan basis pencatatan atas ‘’dasar kas’’ (kas stelsel basis).
Di era reformasi sekarang ini, sistem pencatatan yang digunakan adalah ‘’sistem ganda’’ (double entry system) dengan basis pencatatan atas dasar kas modifikasi (modified cash basis) yang mengarah pada basis acrual dan sistem ini diatur dalam Kepmendagri No. 29 tahun 2002 dan UU No. 1 tahun 2004. Pengaplikasian pencatatan dengan sistem pembukuan berpasangan dikenal dengan istilah debit dan kredit. Artinya pada setiap transaksi terdapat dua rekening (akun) yang akan dipengaruhi.
Dalam sistem pembukuan berpasangan dikenal dengan istilah debit dan kredit dan dicatat dalam buku jurnal. Setiap rekening yang didebit pemasukan diikuti dengan rekening lain yang dikredit (dikeluarkan), demikian pula sebaliknya. Jumlah sisi debit dan kredit harus sama, jika tidak sama maka pencatatannya menjadi salah, neraca yang dihasilkan menjadi tidak seimbang.
Single Entry semulanya dipakai sebagai dasar pembukuan di pemerintahan karena muda dan praktis. Namun seiring dengan kemajuan ekonomi, sosial ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dimana akuntansi sudah menjadi disiplin ilmu yaitu ‘’ilmu akuntansi’’ maka sistem pembukuan secara tata buku (single entry) tidak memadai lagi. Terjadi reformasi/perubahan dari sistem tunggal ke sistem pembukuan berpasangan. Sistem pembukuan tunggal mulai ditinggalkan oleh banyak negara, termasuk negara Indonesia sendiri yang mulai dilakukan pada 1999. Saat mulai ditabuhnya reformasi di segala bidang termasuk reformasi keuangan Daerah di Indonesia.
Pengaplikasian pencatatan transaksi dengan sistem ‘’double entry’’ dilakukan karena memiliki beberapa karakteristik dan kelebihan yaitu:
(1) laporan keuangan yang dihasilkan lebih muda untuk dilakukan audit (auditable),
(2) pelacakan antara bukti transaksi, catatan dan keberdayaan kekayaan, utang, piutang dan ekuitas organisasi lebih mudah dilakukan (traceable),
(3) pengukuran kinerja dapat dilakukan secara lebih komprehensif, karena mengikuti model penyusunan anggaran yang ‘’berbasis kinerja’’
(4) keadaan asset dan hutang piutang dapat diketahui secara lebih akurat..
Reformasi Sistem Manajemen Keuangan Daerah (financing management reform)
Dalam sistem ini memiliki tiga perundangan sebagai dasar pelaksanaannya yaitu UU No.32/2004, UU No.33/2004, dan UU No.25/2004.hal tersebut berawal dari kekurangan dalam pelaksanaan UU No.22/1999 dan UU No.25/1999, maka dari itu pemerintah dan DPR melakukan beberapa Revisi terhadap kedua produk undang-undang ini. Maka dari itu diterbitkanlah UU No.32/2004 tentang pemerintah daerah dan UU No.33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Selain itu untuk mengatur dan membentuk sistem perencanaan pembangunan yang sistematis dan harmonis, pemerintah mengeluarkan UU No.25/2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. Dan dari semua hal tersebut terdapat tiga Undang-Undang yaitu No.25 dan No.32, dan No.33/2004 yang merupakan landasan hukum yang penting dalam pelaksanaan otonomi daerah dan pembangunan daerah dimasa depan.
Reformasi Organisasi dan Depkeu
Dilakukan reformasi organisasi di lingkungan Depkeu, khususnya untuk mengenai unit perbendaharaan sehingga mampu menyediakan pemimpin dan ahli yang dibutuhkan untuk mengkoordinasi dan mengelola aktivitas terkait dengan akuntansi, manajemen perbendaharaan, pelaporan dan sistem informasi.
Maka dari itu komite reformasi manajemen keuangan sebagai pedoman. Dan dalam hal itu strategi reformasi dibagi menjadi rencana aksi jangka pendek, menengah dan panjang. Rencana jangka menengah dilakukan setelah rancangan jangka pendek selesai dilaksanakan.
Reformasi Sektor Keuangan Publik
Dalam sektor keuangan publik pemerintah daerah sekarang memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar dalam menyediakan pelayanan publik demi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyakarat. Aspek-aspek yang meliputinya adalah hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, bentuk dan struktur pemerintah daerah, pengawasan terhadap penyelanggaran pemerintahan di daerah, serta hubungan antara pemerintahan daerah dengan masyarakat dan pihak ketiga.
Dalam transfer kewenangan tersebut diikuti juga oleh sumber-sumber pendapatan bagi daerah (money follow function) istilah money follow function memilki tiga komponen utama, yaitu dana, tugas dan tanggung jawab.
Pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah ditetapkan dalam UU No.32/2004 dan UU No.33/2004, maka timbul hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang . Maka perlu dikelola dengan sistem pengelolaan keuangan daerah.
Peraturan desentralisasi dalam UU No.32/2004 memilki dimensi dasar. Dimensi tersebut menunjukan konsepsi dan arah kebijakan desentralisasi yang diinginkan policy maker, yang menekankan kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara otonom untuk memenuhi permintaan layanan (services demand) dari masyarakat.
Dimensi pertama (UU No.32/2004) menitik beratkan pada desentralisasi administrasi yaitu pendistribusian kewenangan, tanggung jawab dan sumber daya keuangan sebagain upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai tingkat pemerintahan. Delegasi tanggung jawab meliputi kegiatan perencanaan, pendanaan dan pengelolaan berbagai layanan umum dari pemerintah pusat dan lembaga pelaksanaannya kepada berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional authorities). Pelaksanaan tersebut berdasarkan argumentasi bahwa pengelolaan unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Dimensi kedua (UU No.33/2004), desentralisasi keuangan merupakan komponen inti dari konsep desentralisasi, konsekuensi adanya kewenangan untuk mengelola keuangan (expenditure) secara mandiri. Desentralisasi keuangan terdiri dari :
a) pendanaan mandiri
b) menjalin kerjasama pendanaan dengan pihak swasta dalam penyediaan pelayanan dan infrastruktur
c) ekspansi sumber pendapatan daerah melalui berbagai retribusi
d) dana bagi hasil dari pemerintah pusat dan,
e) utang luar negeri.
Dalam aspek desentralisasi demokratik terdapat dua komponen penting, yakni partisipasi (participation) dan pertanggung jawaban (accountability). Disisi lain accountability merupakan penjelasan atas keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintahan lokal kepada masyarakat. Hubungan atau relasi dan pembagian kekuasaan antara negara dan masyarakat telah didifinasikan ulang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Derajat Desentralisasi dan kemandirian
Desentralisasi pemerintahan yang telah berjalan sejak tahun 2001 di Indonesia telah memberikan banyak perubahan dan kemajuan di setiap daerah. Dalam 10 tahun terakhir ini daerah telah banyak belajar dalam mengelola dan menjalankan urusan pemerintahannya sendiri. Harus diakui menjalankan desentralisasi bukanlah pekerjaan yang mudah, sehingga desentralisasi di Indonesia seringkali mengalami pasang surut karena berbagai kendala yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah terutama dalam hal keterbatasan SDM, finansial dan minimnya potensi daerah. Sehingga membuat tujuan desentralisasi seringkali tidak sejalan (bahkan di satu sisi distorsif) dengan tujuannnya.
Penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di 42 kabupaten/kota menunjukkan kendala terbesar yang saat ini dihadapi oleh pemerintah daerah adalah dalam hal desentralisasi fiskal. Karena dalam praktiknya hampir semua daerah sering kesulitan dalam mencari dan meningkatkan pendapatannya sendiri, sehingga walaupun 10 tahun desentralisasi dijalankan sebagian besar daerah masih menggantungkan penerimaannya dari bantuan pusat baik dalam bentuk block grant (DAU) maupun specific grant (DAK).
Daerah-daerah yang bisa menjalankan desentralisasi fiskalnya hanyalah daerah yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah atau daerah yang berkarakteristik perkotaan besar. Karena paling tidak dengan potensi sumber daya alam tersebut penerimaan daerah masih bisa tercover dari dana bagi hasil sumber daya alam dari pusat, seperti Kabupaten Aceh Utara yang kaya dengan Minyak dan Gas. Atau bagi wilayah perkotaan besar seperti Kota Surabaya dan Kota Semarang sebagai ibukota propinsi telah membuat wilayah tersebut menjadi kota tujuan bisnis dan investasi sehingga pendapatannya dapat tercover dari PAD terutama di sektor pajak dan retribusi daerah. Sebagai catatan, dari + 480 kabupaten/kota di Indonesia hanya 64 kabupaten/kota saja yang memiliki potensi SDA.
Bagi 92% kabupaten/kota di Indonesia yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam, menjadi tidak mudah untuk melepaskan ketergantungan dari bantuan pemerintah pusat. Walaupun sebenarnya sampai saat ini di daerah-daerah penelitian tersebut semua pemerintah daerah terus berupaya untuk menumbuhkan potensi ekonominya dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada semua investor untuk menginvestasikan modalnya di daerah masing-masing.
Hanya saja, upaya tersebut bukanlah sesuatu hal yang mudah karena selain minimnya potensi yang membuat tidak tertariknya investor, juga keterbatasaan dana dari pemerintah daerah untuk meningkatkan fasilitas-fasilitas infrastruktur dan suprastruktur ekonomi di daerahnya. Karena itulah, satu-satunya upaya yang saat ini dilakukan pemerintah daerah untuk mengurangi tingkat ketergantungan keuangannya terhadap pemerintah pusat (walaupun tidak signifikan) dilakukan dengan cara menggenjot PAD semaksimal mungkin terutama di sektor retribusi daerah. Dampaknya cukup negatif karena retribusi yang dinaikkan tersebut rata-rata adalah retribusi yang sifatnya memberikan beban bagi rakyat miskin (retribusi kesehatan) dengan rata-rata di atas 60% dari total PAD.
Lemahnya derajat desentralisasi fiskal tersebut pada akhirnya juga berdampak pada belanja daerah, dimana biaya program pembangunan sebagian besar harus ikut bergantung dari bantuan pusat sehingga celah fiskal daerah menjadi tinggi. Masalahnya APBN juga memiliki keterbatasaan yang tidak mungkin dapat menutupi tingginya celah fiskal daerah, sehingga prosentase DAU sebagian besar hanya diberikan untuk memenuhi alokasi dasar (gaji PNS) saja. Wajar jika kemudian, wadah belanja semua daerah menjadi tidak pro poor karena sebagian besar belanja telah habis dulu untuk menutupi kebutuhan birokrasi (gaji, tunjangan, perjalanan dinas, gedung, perkantoran, dll). Itu pula, kenapa walaupun di sektor pendidikan alokasi belanja di 42 kab/kota rata/rata telah berada di atas 20% namun sebagian besar penggunaannya hanya bisa digunakan untuk memenuhi gaji guru dan dinas, tidak sampai pada program pelayanan publik seperti pengadaan dan rehabilitasi gedung sekolah, bea siswa, pengadaan buku dan lain-lain.
Melihat kondisi daerah yang masih kesulitan dalam menjalankan desentralisasi fiskalnya, sangat urgen untuk memikirkan ulang (terutama bagi pemerintah pusat) perlunya membuat grand strategy yang dalam penguatan desentralisasi fiskal, agar otonomi daerah dapat berjalan lebih efektif. Grand strategy tersebut paling dengan memperbaiki beberapa aturan sistem yang telah ada, yang pertama menyangkut penggunaan DAU dan perampingan birokrasi.
Berdasarkan hasil penelitian World Bank (2007) terhadap Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Departemen Keuangan RI, celah fiskal dan alokasi dasar dalam DAU yang digelontorkan ke daerah (miskin) perbandingannya adalah 50:50. Namun dalam praktiknya di 41 kab/kota yang hasilnya rata-rata 80:20. Kesimpang-siuran ini paling tidak harus dijawab dengan perlunya sebuah aturan mengenai batas minimal perbandingan penggunaan antara alokasi dasar dan celah fiskal yang bersifat proporsional dan memungkinkan bagi daerah miskin untuk bisa membiayai pembangunan di daerahnya.
Dari hasil penelitian FITRA selama 3 tahun (2007-2009) juga menunjukkan adanya kecenderungan dari Pemerintah daerah untuk terus meningkatkan alokasi belanja pegawainya yang berakibat tidak proporsionalnya jumlah PNS dengan populasi penduduk. Di beberapa daerah bahkan harus mengeluarkan anggaran Rp 1 juta untuk pegawai dalam melayani seorang penduduk saja. Oleh karena itu, ke depan perlu dibangun sistem kepegawaian teriintegrasi secara nasional yang dapat membatasi kebutuhan birokrasi di masing-masing daerah.
Sedangkan menurut Halim (2001) ciri utama suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi adalah
(1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelanggaraan pemerintahan;
(2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PDA harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan pertimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut musgrave dan musgrave (1991) dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain :
· PAD/TPD
· BHPBP/TPD
· Sum/TPD
Selain itu dalam melihat kinerja keuangan daerah dapat menggunakan derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah (Halim 2001) antara lain :
· PAD/TKD
· PAD/KR
· PAD+BHPBP/TKD
Keterangan :
PAD : pendapatan asli daerah
BHPBP : bagi hasil pajak dan bukan bangunan
TPD : total penerimaan daerah
TKD : total pengeluaran pemerintah
KR : pengeluaran rutin
Sum : sumbangan dari pusat
Saran
Sistem desentralisasi di indonesia belum terlaksana dengan baik, maka dari itu perlu dilakukan perubahan yang signifikan yaitu perubahan dari tata pemerintahan sentralistik ke tata pemerintahan lokal menuju ke arah tata pemerintahan partnership/desentralisasi antara masyarakat lokal, lembaga swadaya masyarakat, swasta dan pemerintah daerah.
Aditya Yuliman
Ferry Rinaldo
Fiesty Utami
Robithoh Sabilillah
Sisca Herlina
Wisna Kresnawati Dwiwandi
No comments:
Post a Comment